Trendingmanado.com— Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ibarat fenomena gunung es. Hal ini diungkap Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Daerah (DP3AD) Provinsi Sulawesi Utara, dr Kartika Devi Kandouw-Tanos MARS, Selasa 28 Maret 2023.
Saat diwawancara usai meninjau langsung kondisi Aster dan Jelita, dua anak korban kekerasan seksual di Kabupaten Minahasa, dr Devi mengungkapkan, fenomena gunung es yakni persoalan yang terlihat hanya sedikit sedangkan pada kenyataannya ada banyak sekali masalah di bawahnya. “Untuk kasus kekerasan baik itu pada perempuan ataupun pada anak, itu sama dengan fenomena gunung es. Jadi sampai detik ini pun saya rasa masih banyak kasus-kasus di luar sana yang belum terungkap,” ujar istri Wakil Gubernur Sulut Drs Steven OE Kandouw ini.
Dari data yang ada, lanjutnya, dari tahun ke tahun, semakin banyak laporan yang masuk. “Kalau kita lihat data, baik itu data yang ada di UPTD PPA, untuk pelaporan-pelaporannya yang masuk pada kami, semakin banyak. Dari sisi positifnya kita bisa melihat bahwasanya masyarakat terutama korban, sudah lebih berani untuk melapor dan sudah tahu melapornya ke mana,” ungkapnya.
Dan bagi instansi terkait, seperti DP3AD maupun pihak Kepolisian dan Kejaksaan, kini tak perlu ragu lagi dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasa Seksual (TPKS) sudah diketuk di DPR RI tahun 2022 lalu. Itu menambah kepercayaan diri DP3A, juga aparat Kepolisian, dan Kejaksaan, bahwa memang sudah jelas ada payung hukumnya untuk kasus-kasus kekerasan seksual,” imbuhnya.
Diketahui, UU TPKS adalah undang-undang mengenai kekerasan seksual meliputi pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban, hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum. UU TPKS disahkan oleh Presiden RI Joko Widodo dan mulai berlaku sejak 9 Mei 2022. “Yang perlu sekarang adalah kita mensosialisasi lebih lagi, kita banyak turun ke kabupaten/kota, kecamatan ataupun sampai ke kelurahan. Kita kerjasama dengan aparat-aparat kelurahan, kemudian juga di kecamatan supaya masyarakat lebih tahu lagi bahwasanya, untuk kasus-kasus seperti ini, memang harus dilaporkan karena ada hukumannya. Ada efek hukumnya, dan itu sangat jelas,” tandasnya.
Belajar dari kasus Aster dan Jelita (nama samaran), dua anak perempuan korban kekerasan seksual di Kabupaten Minahasa yang baru saja dikunjungi, menurut dr Devi, pelakunya adalah orang-orang terdekat. “Jadi para orang tua atau masyarakat di sekitarnya, kalau melihat ada kasus-kasus seperti itu, agar langsung melapor. Jangan berdiam diri, jangan menganggap ini aib yang harus ditutupi kemudian aib ini nantinya menjadi boomerang bagi si korban. Si korban ini kan kita tidak tahu. Mungkin kalau dilihat secara langsung, kasat mata, tidak apa-apa. Tapi kita tidak tahu luka batin yang mereka bawa sampai mungkin bertahun-tahun, puluhan tahun, yang mempunyai efek negatif bagi dirinya,” sambungnya.
Ketua Ikatan Nyong dan Noni Sulut ini pun kemudian mengajak masyarakat untuk memiliki empat terhadap perempuan ataupun anak yang menjadi korban kekerasan. “Saya mengajak kita untuk lebih melihat dari perspektif korban, lebih punya empati kepada korban ini, kita punya rasa menolong kepada para korban. Jangan cuma berdiam diri, jangan cuma berpikir ‘ah itu kan bukan torang pe urusan, dorang pe keluarga pe urusan’ (Ah itu kan bukan urusan kita, urusan keluarga mereka). Tidak seperti itu, kita juga sebagai masyarakat punya kewajiban, ada loh undang-undangnya untuk melaporkan tindak-tindak kekerasan yang terjadi di sekitarnya. Kalau kita tahu, kita lapor, jangan cuma diam. Dan bagi korban, jangan takut, ada kami semua yang akan membantu. Kami ini dalam arti kata dari DP3A, UPT PPA, dari Kepolisian, Kejaksaan, semua kita bekerja bersama untuk membantu para korban,” tegas srikandi Pemprov Sulut ini lagi.
Terkait pencegahan, lanjutnya, akan sangat tepat jika ada sosialisasi ke sekolah-sekolah. “Untuk kasus-kasus seperti ini bukan hanya satu dinas yang berusaha. Harus ada kerjasama dengan Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, RSUD, Dinas Sosial dan stakeholder lainnya.
Contohnya, ketika ada anak korban bulliying yang tidak mau lagi kembali ke sekolah asalnya, dan mau pindah sekolah. “Untuk kasus seperti itu, kita akan fasilitasi dengan Dinas Pendidikan untuk kepindahannya. Kemudian untuk kasus lain, DP3AD bekerjasama dengan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigras untuk perempuan-perempuan korban kekerasan, kita berikan pelatihan-pelatihan, kita berikan peralatan ketrampilan agar dia bisa mandiri secara ekonomi,” jelas dr Devi sembari menambahkan, biasanya ada latar belakang sehingga seorang perempuan tertindas, dan kebanyakan karena masalah ekonomi, dimana perempuan tidak mandiri secara ekonomi.(red-01)